Cerita Silat
Mendaftar
Advertisement

Membaca Api di Bukit Menoreh (ABM), pada awalnya sungguh sangat membosankan. Tetapi, tidak apabila sudah "menemukan" keindahan dan rahasia di balik kebertele-telean yang dikesankan oleh penulisnya. Betapa tidak, bagi mereka yang terbiasa dengan gaya KPH, Chin Yung, Khu Lung atau apalagi Tjan I. D, pasti sangat gerah dan tidak sabar menunggu seorang tokoh utama bernama Agung Sedayu (hampir sama kasusnya dengan penerusnya Glagah Putih) untuk mencapai kematangan baik sebagai pribadi maupun dalam "Olah Kanuragan".

Alur cerita memang berjalan "lambat" dan terkesan "bertele'tele". Setiap episode diceritakan sangat detail dan bukan dengan penceritaan "aku" atau terpusat pada satu tokoh, tetapi pada banyak tokoh. Karena itu, setting cerita sering bergeser bukan hanya pada tokoh utamanya, tetapi juga sering dari segi Kiai Gringsing (Sang Guru), juga Untara (Kakak), Swandaru (Adik seperguruan), selain secara teritori juga berpindah-pindah dari Sangkal Putung, Mataram, Menoreh dan juga Pajang.

Ada beberapa hal (atau malah banyak) yang menarik dari cerita klasik Jawa ini. Baik kelekatannya dengan sejarah, kemudian juga Olah Kanuragan dan jenis-jenis Ilmu yang ampuh, baik yang sudah mulai punah namun sangat ampuh hingga ke penemuan-penemuan baru oleh Agung Sedayu. Juga penokohan yang menurut saya sangat lekat dengan budaya Jawa, selain tentu setting cerita yang sangat kental bernuansa Jawa, membuat saya yang bukan orang Jawa, tetapi Minahasa, menjadi sangat lekat dan mencintai budaya Jawa ini. Setelah menamatkan semua cerita KPH dan banyak sekali karya Chin Yung dll, ternyata saya menemukan keindahan yang berbeda dengan kualitas yang tidak kalah di buku-buku karangan penulis lokal ini. Meskipun baru empat judul buku dari S. H. Mintardja yang saya tamatkan.

Saya ingin mengeksplorasinya dalam beberapa artikel, sekalian menyarankan para peminat untuk membeli buku ini. Bahkan jika mungkin, meminta generasi penerus untuk melanjutkan cerita yang bagi saya pada akhirnya menjadi indah, menarik dan sarat informasi sejarah ini. Pada bagian pertama ini, saya ingin melihatnya dari alur sejarah meski tidak dalam pendekatan kronologis, tetapi mungkin konstruksi makna dari urutan kejadian.

Settingnya diawali dengan pecahnya Kerajaan Demak dan pertarungan antara Djipang dengan Padjang. Sisa-sisa lasykar Arya Penangsang dengan tokoh Tohpati, murid Kian Mantahun, Maha Patih Djipang memimpin perlawanan secara gerilya. Sebagaimana diketahui, pada episode inilah Jaka Tingkir menggantikan Sultan Trenggana dan membawa pusat pemerintahan ke Padjang. Pada episode ini jugalah, Sutawidjaya (Kelak menjadi Panembahan Senopati, Raja Mataram Pertama didampingi Kiai Juru Martani sebagai Patih)mulai menunjukkan tajinya untuk kemudian melahirkan kerajaan Mataram.

Keseluruhan setting ABM, sebanyak lebih 200 jilid berputar-putar di sisa kerajaam Majapahit dan garis keturunannya (Guru Agung Sedayu termasuk keturunan langsung Majapahit), pertarungan sisa laskar Djipang dan Pajang, hingga ke masa pembentukan Mataram dan konsolidasi Mataram sebagai sebuah kerajaan. Pada selang waktu inilah cerita ABM dibangun, lengkap dengan intrik-intrik dalam istana yang dibuat menjadi tidak membosankan karena dikemas dalam kaitan dengan pergolakan rimba persilatan (meminjam istilah KPH dan Cersil berlatar Cina lainnya). Pergolakan politik yang berpusat di Istana, terpadu secara kait mengait dengan polarisasi tokoh-tokoh silat dari beberapa padepokan yang juga mengalami friksi.

Meski di awal cerita, tokoh-tokoh padepokan masih amat jarang, tetapi pada bagian tengah, di atas jilid 100, mulai bermunculan dan bahkan terus hingga ke bagian-bagian akhir jilid 390-an. Kentalnya nuansa sejarah terutama nampak dalam episode 1 dan 2, yang berpusat dalam diri Agung Sedayu dan Swandaru. Swandaru yang memilih "aliran keras" mengutamakan fisik berbeda jalur ilmunya dengan Agung Sedayu yang mengutamakan "kedalaman". Perbedaan ini diletakkan dalam konflik politik yang secara perlahan bertumbuh semakin subur dan semakin bersimpang hingga meledak pada jilid 200-an. Tetapi, di sela itu juga, justru konflik-konflik utama di kerajaan terjadi. Baik episode perang yang berakhir antara Djipang (sisa lasykar) dengan Pajang yang dimenangkan Untara, hingga menangnya Sutawidjaya dengan kematian Sultan Pajang yang adalah ayah angkatnya. Perang masih terus berlanjut hingga jilid 300-an, hingga berpusat ke diri Glagah Putih yang mengembara. Cerita perang ke perang inilah yang menautkan sejarah sejak Demak, Pajang hingga ke Mataram. Intinya memang adalah pertumbuhan Mataram, baik sejak Ki Pemanahan hingga Panembahan Senopati dan pengganti-penggantinya.

Api di Bukit Menoreh, betapapun memang menyiratkan kentalnya nuansa sejarah. Nampaknya, penulisnya secara sengaja memasukkan unsur tersebut. Meskipun tidak se akurat tulisan sejarah, tetapi fiksi ABM, justru menyajikan alur sejarah secara sangat menarik. Ketika dikonfirmasi dengan sejarah Jawa, saya menemukan alur sejarah yang tidak salah, meski dengan aksentuasi yang berbeda. Saya, justru menjadi lebih mengerti Jawa, melalui fiksi ABM ini. Panorama sejarah ini menjadi tidak membosankan karena paduannya dengan cerita selit yang terselip tidak dalam posri kecil, tetapi malah dominan dengan tidak menohok sejarah jauh ke alur fiksi dan buatan sendiri.

Pergulatan di sekitar Sultan Trenggana, Hadiwidjaya hingga Panembahan Senopati, lengkap dengan Patih mereka masing-masing, serta tokoh-tokoh sepuh yang mengelilingi mereka, kaitan dengan sisa Majapahit, konsolidasi Mataram dengan kadipaten sekitarnya, konflik dan perebutan tahta, serta ambisi politik, dikemas dengan sangat baik. Dan, jadilah ABM sebagai cerita silat klasik Jawa yang sangat representatif untuk mengerti Jawa, terutama bagi emreka yang berasal dari luar Jawa. Tetapi, bahkan bagi Orang Jawa sendiripun, alur yang khas Jawa ini dianggap seakan-akan sebuah kisah nyata (Suara Merdeka, Februari 2004). Hal yang membuktikan betapa cerita ini memang merupakan sari atau disarikan dari kehidupan nyata masyarakat Jawa.

Tidak salah, jika para peminat cerita silat untuk melirik dan membeli buku yang indah ini.

Jakarta, November 2006


Advertisement