Cerita Silat
Mendaftar
Advertisement

Generasi SH Mintardja, Kho Ping Hoo, Bastian Tito, mungkin sudah boleh dikatakan berakhir, atau hampir berakhir. Tetapi, nampaknya generasi yang lebih baru sedang lahir dan sedang bertumbuh seiring dengan perkembangan technologi informasi. Entahlah, yang pasti, kemudahan berkomunikasi dan mengakses informasi melalui internet, membuat kelahiran banyak penulis baru menjadi lebih mudah. Baik dalam berkomunikasi antar penulis maupun saling kritik, saling mendidik ataupun saling mengisi dengan gaya cerita dan tipikal menulis yang berbeda-beda.

Penulis-penulis kesohor sebelumnya, semisal Kho Ping Hoo sudah "pergi" dengan gayanya yang khas. Sangat produktif dan membiarkan tulisannya terasa renyah alias gampang ditebak, meski dalam beberapa cerita tetap menghasilkan daya dan gaya menghibur yang menyentak. Bahkan, tokoh yang satu ini, dianggap sebagai Guru Besar Cerita Silat Indonesia. Dan, ini memang beralasan dan sangat masuk akal. Kontribusinya, baik dalam jumlah karya maupun dengan gaya menulis, terhitung luar biasa dan menghadirkan warna berbeda dengan saduran-saduran yang juga bertumbuh bersama dengan karyanya. Penulis lain yang sesaman, termasuk Sriwidjono yang melanjutkan cerita Darah pendekar, atau juga Herman Pratikno,Batara dll, termasuk dalam genre yang dikembangkan oleh Guru Besar Cersil Indonesia ini.

Sementara tokoh lain, yaitu SH Mintardja, menarik garis yang berbeda dengan Kho Ping Hoo dengan terutama menyajikan cerita Silat yang berdasarkan konteks budaya dan sejarah Jawa. Bagi para penggemar Cerita Silat gaya Kho Ping Hoo, pasti akan menemukan kesulitan dalam membaca bagian-bagian awal tulisan SH Mintardja. Apalagi kalau langsung mengunyah Api di Bukit Menoreh yang, masya allah, panjangnya "mengerikan", alias kepanjangan atau saking panjangnya kita sebut seriang terpanjang. Mungkin. Tulisan lain yang lebih ringkas dan tidak kurang kental dengan gaya SH Mintardja adalah NAGA SASRA dan SABUK Inten, yang bila ditelaah "seperti" berkesinambungan. kesan sinambung terutama dalam kaitan sejarah dan penyebutan tokoh-tokoh sejarah yang ditampilkan dalam kedua ceirta tersebut. NAGA SASRA boleh dibilang prolog Api DI Bukit Menoreh, meski tidak benar seluruhnya. Bilapun tidak terkait, maka gaya tulis dan "perlahan-lahan dan semakin lama semakin menggigit" hanya akan dirasakan bila mulai menemukan kenikmatan membaca karya Empu Olah Kanuragan Jawa ini.

Bastian Tito dengan Wiro Sablengnya, juga tidak kalah produktif dan tidak kalah imaginatifnya dengan Kho Ping Hoo. Bastian Tito malah terhitung menghadirkan setting apa saja, bisa Tiongkok yang disisipkan dalam serial cerita, bisa ilmu ampuh daerah-daerah di Indonesia, bisa Ilmu-ilmu di Jawadwipa, bahkan juga pernah membuat perjalanan lintas waktu. Pakem cerita dengan gaya Bastian justru dalam apa yang digambarkan oleh Kkabeh ketika meninjau Gu Long, yakni membangun dengan kreatifitas sendiri. Dia, Bastian Tito, memang berbeda dengan Kho Ping Hoo dan Mintardja dengan membangun sendiri "Kerajaan Silatnya" yang khas, terkadang kesannya konyol dan kental dengan komedi. Tetapi, imajinasinya yang terkesan "liar" mampu menghadirkan ide-ide yang meski terkesan kurang logis, harus diapresiasi sebagai ide untuk menghibur.

Karakter-karakter yang ditinggalkan oleh Ketiga Penulis ini sungguh menarik: Bu Kek Sian Su, Suma Han, Bu Pun Su, Pendekar Sadis yang ditinggalkan Kho Ping Hoo sungguh menarik dan dikarakterisasi secara memadai. Seperti juga Mahesa Jenar dan Agung Sedayu yang ditinggalkan oleh SH Mintardja, yang malah karakterisasinya lebih kuat lagi. Karena penuturan mengenai kedua tokohnya memang terhitung lamban, lengkap, mengalir dan alur pendewasaan dan penemuan dirinya lengkap. Sementara tokoh sakti yang kocak dan konyol, Wiro Sableng ciptaan bastian tito, yang bahkan sudah difilmkan, juga tidak kurang kental mengendap di benak para pengagum dan peminat cerita silat di Indonesia.

Meski belum mengenal konfigurasi utama dan lengkap dari para penulis cerita silat Indonesia kontemporer, dan lebih banyak membaca melalui internet (masih kurang terbitan cetakan), tetapi peralihannya sudah cukup terasa. Media internet memang sangat membantu dan memacu perkembangan gaya baca dan selera baca. Untuk yang satu ini, kkabeh telah pernah mengulasnya. Para peminat serius atau bahkan maniak cerita silat, pasti lebih menyukai kemasan masa lalu, edisi buku saku yang lebih ramping dibanding edisi modern yang lebih ramah mata dan ngejreng. Tetapi, bukan soal itu yang ingin kami cermati. Sebaliknya, munculnya para penulis baru yang cukup potensial dan hebatnya, kelhatannya mereka berkomunikasi intens melalui media internet. Dunia memang berubah dan akan terus berubah. Terima Kasih Tuhan, karena perubahan kekal sifatnya.

Dunia Cersil Indonesia dewasa ini, misalnya diisi oleh tokoh-tokoh semisal Tabib Gila, Fary oroh, Kkabeh, Nein Ariemasen, Demonking, Noel, Eds, dll. Karya-karya Kkabeh, Fary Oroh, Nein dan Tabib Gila, bahkan sudah bisa diakses dan beberapa sudah dicetak. Dan, nampaknya, tokoh-tokoh baru inilah yang akan memimpin front terdepan produksi cerita silat Indonesia dengan gaya mereka masing-masing yang berbeda-beda. Menikmati tulisan keempat penulis ini cukup menarik, meski konsistensi dan gaya, masih susah untuk diterawang lebih jauh karena karya yang masih terbatas. Sebuah ulasan yang lebih komprehensif tentu akan bisa dilakukan apabila masing-masing sudah berkarya dengan minimal 4-5 tulisan. Karena itu, mengedepankan penulis baru kali ini, lebih sebagai sebuah upaya awal mengapresiasi kelahiran mereka dalam blantika cersil Indonesia.

Kkabeh yang hadir dengan Bu Kek Kang Sin Kang menghadirkan gaya yang menurut saya agak unik dan getar misterius yang bertataran tinggi. Dalam urusan dialog, kandungan misteri dan ketakterdugaan, penulis ini menduduki kursi terdepan. BKKSK benar-benar nyaris seperti tokoh idolanya, menurut artikelnya, yakni Gu Long (Khu Lung), penuh dialog menarik dan secara implisit menjelaskan banyak hal yang sebelumnya misterius dan terungkap dengan hentakan kejutan kecil maupun besar. Bisa ditebak, lanjutan BKKSK ini akan menuai apresiasi yang tidak kurang besarnya meski belum atau mungkin sedang dituliskan. Bila konsistensi menulisnya dipertahankan, maka dunia cersil Indonesia sungguh akan marak dengan cersil berkualitas. Benar, bahwa masih ada beberapa kekurangan yang ditemukan, tapi bagi mereka yang mencari hiburan melalui cersil, BKKSK ini merupakan hiburan berkelas KPH yang sudah mendahului kita. Meski gayanya beda dengan KPH, tapi daya hiburnya sudah kuat.

Fary Oroh, nampaknya satu-satunya penulis yang hadir dengan nama asli, mungkin juga dengan Nein Arimasen. Entah (No need to know ....????). Fary menulis Waraney Negeri Minahasa dan Thian Po (Pusaka Langit) yang sayangnya keduanya belum tamat. Waraney Negri Minahasa bagian I, jika tidak salah sudah dicetak saat ini, sementara Thian Po updatenya masih tersendat. Tetapi, watak dan gaya menulis di Waraney Negri Minahasa dan Thian Po, meski terasa berbeda tetapi sebenarnya dari "pikiran" dan "back mind" yang sama. Bila Waraney Negri Minahasa hadir dan ditulis untuk konsumsi koran atau harian di Manado, maka Thian Po memasukkan unsur nasional (pembaca nasional) sehingga settingnya dan gaya ceritanya sedikit berbeda. Waraney Negri Minahasa, nyaris sama dengan insporasi yang dihadirkan Mintardja, yakni cersil bernuansa Jawa. Cuma, Fary memberi setting Minahasa, meski tokohnya termasuk multi nasional dengan menghadirkan pesilat dari Tiongkok sampai India (pada lanjutan cerita itu). Hanya, bila Mintardja bercerita dengan lamban dan menusuk, maka Fary melakukannya dengan speed yang lebih dan daya tusuk yang sama kuatnya. Beberapa terminologi cersil coba diterjemahkan oleh Fary, dan kerjanya ini memang sungguh ulet dan mengagumkan. Di Thian Po, nampaknya Fary mencoba memasukkan unsur misteri, sayang masih belum berbentuk dan sulit dinilai. Dengan gaya menulisnya di Waraney, sebenarnya hasilnya sudah sangat menghibur. Diapun, pasti akan hadir sebagai penulis hebat bagi cersil Indonesia kelak.

Nein Arimasen .... nampaknya memiliki imaginasi yang paling "liar" diantara keempat penulis ini. Meski belum usai, Elemen kekosongan yang memadukan Rimba dan gunung Hijau dan Kehidupan Para Pendekar, menghadirkan ide cerita, geografi dan tokoh yang lintas batas dan lintas budaya. Gayanya, meski tidak kocak, nyaris sama dengan Bastian Tito dalam penciptaan karakter, setting tempat dan cerita. Artinya, tidak dalam pakem tertentu, mislanya setting Jawa atau Minahasa dalam cerita Fary, tetapi Nein menciptakan dunia cersilnya sendiri. Benar-benar daya khayal dan fantasi yang luar biasa, meski kedodoran dalam konsistensi penciptaan tempat (ini khas bagi pencipta dunia geografis tertentu) terutama detilnya, tetapi secara keseluruhan kita menghadapi karya dengan keunikannya tersendiri. Sekali lagi, ini baru cerita cerita awal, bisa jadi dalam karya menyusul, gaya ini sedikit bergeser. Betapapun, alternative cersil Indonesia jadi lebih beragam dan lebih berwarna. Bila karya-karyanya hadir kelak, maka tidak heran bagi saya, karena memang Nein akan menjadi salah seorang penulis cersil Indonesia nantinnya

Tabib Gila ... dikenal penulis dari cerita silat Dendam Kesumat dan Rahasia Lukisan Kuno (atau pendekar Cinta dalam indozone.net). Sayang, saya belum membaca Bidadari dari Thian San, tetapi trilogi itu pasti tidak akan meleset dari pakem yang ada di bagian 1 dan 2 cerita itu. Gaya menulis di bagian 1 dan 2 nampak seperti Kho Ping Hoo, meski memang masih belum semulus Kho Ping Hoo karena ada plot yang dibiarkan kosong meski bisa diisi ditengahnya. Tetapi, sebuah hasil karya cersil yang ditulis oleh penulis Indonesia kembali sudah hadir di tengah kita. Meski kekuatan dialognya belum sekuat Kkabeh, tetapi ceritaya sudah mengalir dan tentunya akan mengalami perubahan dan perbaikan perbaikan kedepan.

Pembaca Cerita Silat karya orang Indoensia sudah boleh belega hati. Terlebih, karena bukan hanya 4 orang ini yang sedang menulis, masih ada penulis lain lagi yang mengerjakan karyanya. Tapi, bolehlah para pembaca dan peminat cerita silat di Indonesia mengucapkan SELAMAT DATANG kepada para penulis baru ini. Penulis bergaya Kho Ping Hoo, Khu Lung, Mintardja dan bastian tito, dengan modifikasi masing-masing sedang berkarya dan mematangkan dirinya. Selamat datang dan selamat berkarya.

Jakarta, 17 Maret 2007


Advertisement